Idul Fitri: Meraih Kemenangan Hakiki?



Oleh Sri Purwanti, A.Md.K.L.
(Founder Rumah Baca Cahaya Ilmu)

RuangInspirasiBunda.Com-Ramadan sudah sampai di penghujung. Lantunan takbir, tahlil, dan tahmid menggema. Seluruh umat Islam menyambut datangnya 1 Syawal dengan penuh sukacita. Bahkan jauh-jauh hari sudah mulai sibuk dengan persiapan menyambut Idul Fitri mulai dari belanja kue lebaran maupun berburu baju baru untuk memperlengkap penampilan ketika silaturahim dengan kerabat dan tetangga. Namun apakah makna Idul Fitri hanya sebatas saling berkunjung satu sama lain?

Jika ditelisik lebih dalam, Idul Fitri secara bahasa bisa diartikan dengan kembali ke pembawaan yang asli (naluri). Salah satu naluri manusia adalah adanya naluri beragama (gharîzah at-tadayyun) pada dirinya. 

Manifestasi dari naluri ini adalah munculnya perasaan dirinya serba lemah, serba kurang dan tidak berdaya sehingga ia membutuhkan sesuatu yang lebih hebat, untuk dijadikan sebagai tempat bergantung dan meminta pertolongan.

Oleh karena itu, secara fitrah, manusia akan selalu membutuhkan keberadaan agama yang bisa menuntun dirinya melakukan penyembahan (‘ibâdah) kepada Sang Pencipta dengan benar. .

Konsekuensinya, sesuai dengan fitrahnya, manusia akan senantiasa mendudukkan dirinya sebagai hamba di hadapan Tuhannya, Allah Swt. yang menciptakan alam semesta beserta dengan semua isinya.

Sehingga bisa disimpulkan bahwa Idul Fitri (kembali ke fitrah) adalah kembalinya manusia pada kedudukannya sebagai seorang hamba di hadapan Allah sebagai Sang Khaliq.

Kemenangan yang diharapkan, bukan sekadar seremonial Idul Fitri namun sampai pada kemenangan hakiki. Kemenangan yang memungkinkan kita bebas menghamba kepada Sang Pencipta. Terpenuhinya semua hajat baik sandang, pangan, dan papan. Maupun terjaganya kedudukan dan kehormatan, dan hak-hak dasar hidup seluruh masyarakat. 

Lalu bagaimana caranya supaya bisa meraih kemenangan yang hakiki?
Pertama melakukan tadarus Al-Quran (baik di bulan Ramadan maupun di luar itu), serta mengamalkannya. Karena menjadikan Al-Qur'an sebagai pedoman hidup mereka adalah wajib. 

Kedua berpuasa bukan sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan diri dari segala hal yang diharamkan oleh Allah. Tidak berdusta, tidak berbuat batil, tidak membuat kerusakan, dan tentu saja tidak berhukum pada selain hukum Allah Swt. 

Ketiga menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan tobat, tidak lagi melakukan maksiat meski Ramadan telah berlalu. 
Senantiasa istikamah dalam kebaikan dan mencegah kemungkaran. Sehingga kita benar-benar meraih kemenangan yang hakiki.


Wallahu a'lam bishawab

Posting Komentar

0 Komentar