Bijak Memahami Toleransi

Oleh: Sri Purwanti, AMd.KL, 
(Pegiat Literasi, Member AMK)


Tanggal 25 Desember telah di depan mata. Sudah menjadi pemandangan umum ketika menjelang natal dan tahun baru, banyak pusat perbelanjaan yang pegawainya memakai atribut  natal (topi Santa Claus). Membuat miris, banyak dari karyawan  tersebut yang memakai kerudung (Muslim),  hal ini bukan lah perkara yang sepele, karena bisa merusak akidah kaum muslimin atas nama toleransi semu.

Natal dan tahun baru jelas budaya milik kaum Nasrani. Natal diperingati sebagai hari kelahiran Yesus (Nabi Isa), begitu pula dengan malam pergantian tahun (kalender Masehi),  yang selalu di sambut dengan gegap-gempita oleh berbagai kalangan, termasuk kaum Muslimin. Banyak kaum muslimin yang menganggap perayaan tahun baru adalah perayaan universal (bukan bagian dari ritual ibadah agama tertentu) padahal faktanya  perayaan malam pergantian tahun adalah bagian dari dari kebudayaan non muslim.

Lalu Bagaimana Sikap Kita Sebagai Seorang Muslim?

Ketika seorang muslim mengucapkan bahkan mengikuti acara mereka, maka dianggap mengakui bahkan membantu syiar agama mereka. Hal ini tentu saja berbahaya, karena bisa merusak akidah.  Ketika seorang Muslim ikut menggunakan atribut natal dan tahun baru, maka akan dimasukan kedalam golongan mereka. Rasululullah Saw pernah bersabda “Barangsiapa ,mengikuti suatu kaum, maka dia termasuk di dalam kaum itu juga” (HR. Ahmad).

Demikian juga ketika kita mengucapkan selamat natal, sama saja kita dengan sadar mengakui bahwa Allah punya anak, padahal Allah dengan tegas mengecam dalam FirmanNya “ Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan : “bahwasanya Allah salah seorang dari tiga”,  padahal  sekali-kali tidak ada Tuhan dari Tuhan yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” (QS Al-Maidah: 73).

“Dan mereka berkata: “Allah yang Maha Pengasih mempunyai anak”. Sesungguhnya kamu telah membawa  sesuatu yang sangat mungkar. Hampir saja langit pecah karena ucapanmu itu, dan bumi berbelah, dan gunung-gunung runtuh, karena ucapanmu itu. Karena mereka menganggap Allah yang Maha Pengasih mempunyai anak” (QS Maryam : 88-91).

Dan Rasulullah Saw mengajarkan kepada umatnya untuk meninggalkan dan menjauhi perayaan-perayaan terutama yang berulang pada setiap tahunnya (yang berasal dari non muslim). Dalam hadis yang shahih dari Anas bin Malik ra dia berkata,” Saat Rasulullah Saw datang ke Madinah, mereka memiliki dua hari besar untuk bermain-main”. Lalu beliau bertanya, “Dua hari untuk apa ini ?” Mereka menjawab, “Dua hari di mana kami sering bermain-main di masa Jahiliyyah.” Lantas beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian untuk keduanya dua hari yang lebih baik dari keduanya: Idul Adha dan Idul Fitri.” (HR. Abu Dawud).

Perayaan dua hari raya ini bersandingan dengan dua rukun yang agung dari rukun Islam yaitu puasa ramadhan dan ibadah haji, sudah selayaknya kaum muslimin tidak tergiur untuk menyandingkan dengan hari raya umat agama lain, terlebih perayaan tahun baru yang selalu identik dengan hura-hura dan kemaksiatan (narkoba, miras, seks bebas).

Toleransi itu tidak harus diwujudkan dengan mengikuti perayaan mereka, atau memberikan ucapan selamat namun cukup dengan mengakui adanya keberagaman dan tidak menggangu ibadah mereka , begitupula sebaliknya mereka tidak menggangu ibadah kita, seperti firman Allah “Bagimu Agamamu, bagiku agamaku” (QS Al- Kafirun : 6). 
Wallahu’alam Bish Shawab

Dimuat di Vivisualiterasi.com, 26 Desember 2019

Posting Komentar

0 Komentar